Ingatan tak pernah solid dan stabil;
ingatan dengan mudah melayang tertiup. Seperti kertas, ketika ia menampakkan
diri di depan kita, sebenarnya dalam proses berubah. Kita yang menemukannya
juga berubah: dengan kepala yang tak lagi pusing atau menatapnya dengan mata
yang tak lagi lelah; kertas itu sendiri sedang jadi lecek atau sumbing, lembap
atau menguning.
Origami, di situ, mengandung dan mengundang
perubahan. Berbeda dengan kirigami, ia dilipat tanpa direkat ketat dengan lem
atau dijahit mati. Ia bernilai karena ia sebuah transformasi dari bahan tipis
dan rata jadi sebuah bentuk yang kita bayangkan sebagai, misalnya, burung
undan. Dan pada saat yang sama, ia mudah diurai kembali. Begitu juga penulisan
sejarah: ia bernilai karena ia mengandung pengakuan, masa lalu sebenarnya tak
bisa diberi bentuk yang sudah dilipat mati.
Saya selalu teringat ini tiap 17 Agustus.
Hari itu telah jadi sebuah institusi. Kita
memberinya nama dan merayakannya dalam sebuah lagu (“Tujuh belas Agustus tahun
empat lima, itulah hari kemerdekaan kita…”). Ada yang menjadikannya indikator
sebuah revolusi (dengan “R”) dan berbicara tentang “Revolusi Agustus”. Di
sekitarnya disusun ritual: tiap pukul 09.00 teks Proklamasi dengan tulisan
tangan Bung Karno yang bergegas itu dibacakan kembali. Momen 67 tahun yang lalu
itu seakan-akan patung pualam yang tak boleh lekang dan lapuk.
Manusia memerlukan itu: patung, ritual, dan
upacara. Tapi itu juga yang membuat kita memandang masa lalu sebagai sebuah
bentuk yang disederhanakan dan diperindah—seperti origami. Di balik 17 Agustus
sebagai sebuah ingatan yang dilembagakan, ada keadaan dan kerja yang tak
terhitung ragamnya: para pemuda yang dengan semangat berapi-api dan jantung
berdebar mendesak Bung Karno dan Bung Hatta untuk berani tak patuh kepada
penguasa Jepang; Bung Karno dan Bung Hatta yang dengan sabar tapi cemas
mengikuti desakan itu—dan kemudian menyusun teks yang di sana-sini dicoret itu;
sejumlah orang yang tak disebut namanya yang mengawal kedua pemimpin itu
kembali dari Rengasdengklok; orang-orang yang menyiapkan bendera merah putih,
pengeras suara, rekaman, upacara sederhana, dan berdoa….
Kerja (dan tak jarang dengan kesalahan dan
kebetulan) dalam ragam yang tak habis-habisnya itu bahkan belum bisa membuat
suara Bung Karno jadi sebuah gaung yang tak mati-mati, ke seluruh Indonesia, ke
hari-hari mendatang. Setelah beratus tahun menunggu, tiba-tiba datang satu saat
ketika kolonialisme jebol dan orang Indonesia bisa berkata bahwa dirinya
“merdeka”.
Sejarah, di balik origami yang rapi itu, tak
semuanya rapi. Ia punya elemen yang disebut Bung Karno “menjebol”. Kata itu
menunjukkan sebuah aksi; bukan “penjebolan”, bukan “jebolan”, bukan sebuah
kesimpulan, atau hasil ataupun keadaan. “Menjebol” menyiratkan sebuah keyakinan
yang ada dalam proses. Tapi ia justru bermula seakan-akan mematahkan waktu di
tengah.
Ia, jika kita pakai pandangan Badiou,
adalah sebuah “kejadian”: tiap ikatannya dengan dunia yang-utuh, dengan situasi
yang satu, patah. Kejadian itu seakan-akan ditakik dari hidup kita yang sehari-hari
dan “lepas ke bintang-bintang”.
Di sini, saya ingin berhati-hati dengan
hiperbol. Kata “bintang-bintang” bisa terasa terlampau melambung, tak
bersentuhan dengan bumi. Salah satu kelemahan Badiou ialah memberi kesan bahwa
dalam politik, “kejadian”, l”événement, begitu luar biasa sehingga harus ada
orang-orang militan yang lahir sebagai subyek dalam Kebenaran. Sementara itu
kita tahu, 17 Agustus bukanlah sesuatu yang secara ontologis terpisah dari
situasi waktu itu. Sama salahnya dengan menganggap Peristiwa 30 September
sebagai bukti “kesaktian” Pancasila, kita akan keliru bila menganggap detik
ketika Proklamasi itu dimaklumkan adalah sebuah momen yang muncul bagaikan
mukjizat.
Kita memang bisa menyebutnya sebagai
“Revolusi”. Tapi tiap ingatan tentang revolusi selalu terdiri atas bagian yang
sudah melayang terbang, atau melapuk—seperti kertas.
Bersamaan dengan itu, kata “revolusi”
membawa imaji melodramatik, pertentangan penuh gairah dan gundah, yang sering
mengharukan tapi juga melenceng. Monumen yang banyak dibangun di
Indonesia—prajurit bersenjata, pemuda membawa bambu runcing—membayangkan
kekerasan sebagai bagian esensial dalam “Revolusi” itu, meskipun di bulan
Agustus 1945 itu tak ada pertempuran apa pun. Yang sering dilupakan, bahkan
sebuah revolusi yang eksplosif datang dari perubahan-perubahan yang tidak
heboh: politik mikro. Tak semuanya menarik, ganjil, atau heroik.
Itu sebabnya, “merdeka” adalah proses.
Dalam bahasa Indonesia, kata sifat kadang-kadang bisa juga berfungsi menjadi
kata kerja: daun adalah hijau dan itu juga berarti daun menghijau. Maka
“Indonesia merdeka” dapat berarti “Indonesia adalah merdeka”, tapi juga bisa
berarti “Indonesia menjalankan kemerdekaan”. Seperti “menjebol”, kerja itu
masih berlangsung.
Pernah ada lelucon pahit. Seseorang yang
setelah 17 Agustus 1945 nasibnya tak jadi lebih baik, bahkan memburuk,
bertanya: “Kapan merdeka selesai?” Jika kita lihat “merdeka” adalah sebuah
laku, pertanyaan itu tak akan ada. Sebab laku itu—yang berlangsung dalam
sejarah sebagai proses—tak punya titik yang tetap di depan untuk dituju. Titik
itu, untuk jeda, harus tiap kali diputuskan kembali.
Itu sebabnya kita perlu membayangkan
origami itu tak mati. Dalam bentuk seekor burung undan, kita bayangkan ia
terbang tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar