Pada
dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang melibatkan aktivitasmental yang
terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan
lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan,
pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif dan
berbekas. Teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu
proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia.
Secara umum, terdapat tiga macam teori belajar yang sudah dikenal, yakni: Teori belajar Behavioristik, Teori Belajar Kognitif dan teori Belajar Konstruktivistik. Pada pembahasan berikut, akan disampaikan pembahasan tentang Teori Belajar Kognitif.
Secara umum, terdapat tiga macam teori belajar yang sudah dikenal, yakni: Teori belajar Behavioristik, Teori Belajar Kognitif dan teori Belajar Konstruktivistik. Pada pembahasan berikut, akan disampaikan pembahasan tentang Teori Belajar Kognitif.
Prinsip-prinsip
Teori Belajar Kognitif
Teori
belajar kognitif menjelaskan belajar dengan memfokuskan pada perubahan proses
mental dan struktur yang terjadi sebagai hasil dari upaya untuk memahami dunia.
teori belajar kognitif yang digunakan untuk menjelaskan tugas-tugas yang
sederhana seperti mengingat nomor telepon dan kompleks seperti pemecahan
masalah yang tidak jelas.
Teori
belajar kognitif didasarkan pada empat prinsip dasar:
- Pembelajar
aktif dalam upaya untuk memahami pengalaman.
- Pemahaman
bahwa pelajar mengembangkan tergantung pada apa yang telah mereka ketahui.
- Belajar
membangun pemahaman dari pada catatan.
- Belajar adalah perubahan dalam struktur mental seseorang.
Apakah Siswa
Aktif ?
Teori
belajar kognitif didasarkan pada keyakinan bahwa peserta didik aktif dalam
upaya untuk memahami bagaimana dunia bekerja, kepercayaan ini konsisten
dengan Piaget dan Vygotsky tentang pemandangan pengembangan pelajar.
Pembelajar melakukan lebih dari sekedar menanggapi. Mereka mencari informasi
yang membantu mereka dari jawaban pertanyaan, mereka memodifikasi pemahaman
mereka berdasarkan pengetahuan baru, dan perubahan sikap mereka dalam menanggapi
peningkatan pemahaman. teori belajar kognitif pandangan manusia sebagai
"agen goal-directed yang aktif mencari informasi.
Siswa
Memahami Tergantung Pada Apa Yang Dia Tahu
Dalam usaha
mereka untuk memahami bagaimana di dunia bekerja, peserta didik menafsirkan
pengalaman baru berdasarkan apa yang mereka sudah tahu dan percaya. Sebagai
contoh, sering anak-anak tetap percaya bahwa bumi ini datar bahkan
setelah guru menjelaskan bahwa itu adalah sebuah bola. Beberapa anak kemudian
menggambar permukaan datar seperti di dalam atau di atas bola. Mereka beralasan
bahwa orang tidak dapat berjalan di atas bola, dan ide dari permukaan yang
datar tadi anak-anak mengetahui dan memahami ide untuk membantu mereka
menjelaskan bagaimana orang dapat berdiri atau berjalan di permukaan bumi.
Contoh ini juga membantu kita melihat mengapa menjelaskan sering tidak efektif
untuk mengubah pemahaman peserta didik
Membangun
Pembelajar Memahami dari Rekaman
Pelajar
tidak berperilaku seperti tape recorder, merekam dalam ingatan mereka dalam
bentuk di mana itu disajikan segalanya, guru mengatakan kepada mereka atau apa
yang mereka baca. Sebaliknya, mereka menggunakan apa yang telah mereka ketahui
untuk membangun pemahaman tentang apa yang mereka dengar atau membaca yang
masuk akal bagi mereka. Dalam upaya mereka untuk membuat informasi baru
dimengerti, mereka secara dramatis dapat memodifikasi itu, begitu pula
anak-anak yang membayangkan serabi pada bola. Kebanyakan peneliti sekarang
menerima gagasan bahwa siswa membangun pemahaman mereka sendiri (greeno et
al,1996).
Definisi
Pembelajaran
Dari
perspektif kognitif, belajar adalah perubahan dalam struktur mantal seseorang
yangatas kapasitas untuk menunjukkan perilaku yang berbeda.
Perhatikan kalimat "menciptakan kapasitas. Dari perspektif kognitif,
belajar dapat terjadi tanpa ada perubahan langsung dalam perilaku, bukti
perubahan dalam struktur mental dapat terjadi dalam beberapa waktu kemudian.
"struktur mental" bahwa perubahan termasuk skema, keyakinan, tujuan,
harapan dan komponen lainnya. Dalam pelajaran david, karena randy misalnya
sadar walaupun tentang kebutuhannya untuk membuat catatan, dan Tanta, Rendy dan
Juan membentuk hubungan, dalam pikiran mereka, menghubungkan informasi dari
grafik, transparansi, dan demonstrasi.
Baik teori
behaviorisme atau kognitif sosial dapat menjelaskan upaya siswa-siswa.
Bagaimana informasi "di kepala pelajar itu" diperoleh, dan bagaimana
disimpan? Kita menjawab pertanyaan-pertanyaan pada bagian berikutnya kita
mengamati pengolahan informasi, salah satu yang pertama dan paling diteliti
secara deskripsi tentang bagaimana orang mengingat (Hunt & Ellis, 1999).
Pengolahan
Informasi
Pengolahan
informasi adalah teori belajar yang menjelaskan bagaimana rangsangan memasukkan
sistem ingatan kita, dipilih dan terorganisir untuk penyimpanan, dan diambil
dari memori (Mayer, 1998a). Teori belajar kognitif yang paling menonjol dari
abad ke-20, ia memiliki implikasi penting untuk mengajar hari ini (Mayer,
1998b).
Sesuai
dengan karakteristik matematika maka belajar matematika lebih cenderung
termasuk ke dalam aliran belajar kognitif yang proses dan hasilnya tidak dapat
dilihat langsung dalam konteks perubahan tingkah laku. Berikut adalah beberapa
teori belajar kognitif menurut beberapa pakar teori belajar kognitif:
Teori
Belajar Piaget
Jean Piaget
adalah seorang ilmuwan perilaku dari Swiss, ilmuwan yang sangat terkenal dalam
penelitian mengenai perkembangan berpikir khususnya proses berpikir pada anak.
Menurut
Piaget setiap anak mengembangkan kemampuan berpikirnya menurut tahap yang
teratur. Pada satu tahap perkembangan tertentu akan muncul skema atau struktur
tertentu yang keberhasilannya pada setiap tahap amat bergantung pada tahap
sebelumnya. Adapun tahapan-tahapan tersebut adalah:
a. Tahap
Sensori Motor(dari lahir sampai kurang lebih umur 2 tahun)
Dalam dua
tahun pertama kehidupan bayi ini, dia dapat sedikit memahami lingkungannya
dengan jalan melihat, meraba atau memegang, mengecap, mencium dan menggerakan.
Dengan kata lain mereka mengandalkan kemampuan sensorik serta motoriknya.
Beberapa kemampuan kognitif yang penting muncul pada saat ini. Anak tersebut
mengetahui bahwa perilaku yang tertentu menimbulkan akibat tertentu pula bagi
dirinya. Misalnya dengan menendang-nendang dia tahu bahwa selimutnya akan
bergeser darinya.
b. Tahap
Pra-operasional ( kurang lebih umur 2 tahun hingga 7 tahun)
Dalam tahap
ini sangat menonjol sekali kecenderungan anak-anak itu untuk selalu
mengandalkan dirinya pada persepsinya mengenai realitas. Dengan adanya
perkembangan bahasa dan ingatan anakpun mampu mengingat banyak hal tentang
lingkungannya. Intelek anak dibatasi oleh egosentrisnya yaitu ia tidak
menyadari orang lain mempunyai pandangan yang berbeda dengannya.
c. Tahap
Operasi Konkrit (kurang lebih 7 sampai 11 tahun)
Dalam tahap
ini anak-anak sudah mengembangkan pikiran logis. Dalam upaya mengerti tentang
alam sekelilingnya mereka tidak terlalu menggantungkan diri pada informasi yang
datang dari pancaindra. Anak-anak yang sudah mampu berpikir secara operasi
konkrit sudah menguasai sebuah pelajaran yang penting yaitu bahwa ciri yang
ditangkap oleh pancaindra seperti besar dan bentuk sesuatu, dapat saja berbeda
tanpa harus mempengaruhi misalnya kuantitas. Anak-anak sering kali dapat
mengikuti logika atau penalaran, tetapi jarang mengetahui bila membuat
kesalahan.
d. Tahap
Operasi Formal (kurang lebih umur 11 tahun sampai 15 tahun)
Selama tahap
ini anak sudah mampu berpikir abstrak yaitu berpikir mengenai gagasan. Anak
dengan operasi formal ini sudah dapat memikirkan beberapa alternatif pemecahan
masalah. Mereka dapat mengembangkan hukum-hukum yang berlaku umum dan
pertimbangan ilmiah. Pemikirannya tidak jauh karena selalu terikat kepada
hal-hal yang besifat konkrit, mereka dapat membuat hipotesis dan membuat kaidah
mengenai hal-hal yang bersifat abstrak.
Berdasarkan
uraian diatas, Piaget membagi tahapan perkembangan kemampuan kognitif anak
menjadi empat tahap yang didasarkan pada usia anak tesebut.
Taxonomy
SOLO
Teori
belajar Piaget memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap perkembangan teori
pembelajaran kognitif. Hal ini terbukti dengan banyaknya peneliti yang tertarik
melakukan analisis serta memperluas teori tersebut. salah satu kritik yang
cukup tajam terhadap teori Piaget adalah berkenaan dengan asumsi bahwa
pengertian akan suatu struktur yang sama akan diperoleh pada usia yang sama
dalam berbagai domain intelektual. Implikasi dari hal ini adalah ketika seorang
anak sudah dapat mengawetkan besaran suatu unsur dengan mengenali bahwa besaran
dari benda tersebut sama terlepas dari bentuknya anak secara rasional dapat
diduga akan mengawetkan konsep berat, karena struktur antara konsep besaran dan
berat sama. Ternyata bersadar pada studi eksperimental yang dilakukan oleh para
peneliti hal ini tidak sepenuhnya benar. Hal ini dianggap sebagai sebuah
penyimpangan. Penyimpangan yang dimaksud adalah terjadinya perbedaan cara dalam
memperoleh sebuah struktur yang sama oleh seorang individu. Dari beberapa hasil
pengembangan penelitian dalam teori ini ternyata penyimpangan ini lazim terjadi
sebagaimana diungkapkan oleh Biggs dan Collis (1982). Fakta ini memicu sebuah
pengembangan teori dari teori Piaget yang dikenal dengan neo-Piagetian
theories.
Biggs dan
Collis adalah peneliti yang turut melakukan dan analisis teori belajar Piaget.
Salah satu isu utama yang dikaji oleh kedua peneliti ini berkaitan dengan
struktur kognitif. Teori mereka dikenal dengan Structure of Observed Learning Outcomes
(SOLO). Biggs dan Collis (1982: 22) membedakan antara “generalized cognitive
structure” atau struktur kognitif umum anak dengan “actual respon” atau respon
langsung anak ketika diberikan perintah-perintah. Mereka menerima kebeadaan
konsep struktur kognitif umum namun mereka menyakini bahwa hal tersebut tidak
dapat diukur langsung sehingga perlu mengacu pada sebuah “hypothesized
cognitive structure” (HCS) atau struktur kognitif hipotesis. Menurut mereka HCS
ini relative lebih stabil dari waktu ke waktu serta bebas dari pengaruh
pembelajaran disaat anak diukur menggunakan taxonomi SOLO dalam menyelesaikan
suatu tugas tertentu. Penekan pada suatu tugas tertentu sangat penting seperti
yang diasumsikan dalam taksonomi SOLO bahwa penampilan seseorang sangatlah
beragam dalam menyelesaikan satu tugas dengan tugas lainnya, hal ini berkaitan
erat dengan logika yang mendasarinya, selanjutnya asumsi ini juga meliputi
penyimpangan yang dalam model ini dikatakan:
Siswa dapat
saja berada pada awal level formal dalam matematika namun berada pada level
awal konkrit dalam sejarah, atau bahkan dapat terjadi, suatu hari siswa berada
pada level formal di matematika namun dilain hari dia masih berada pada level
yang konkrit pada topik yyang berbeda. Hasil observasi seperti ini tidak dapat
mengindikasikan terdapatnya “pertukaran” dalam perkembangan kognitif yang
berlangsung, tetapi sedikit pertukaran terjadi pada konstruksi yang lebih
proximal , pembelajaran, penampilan atau motivasi. Biggs & Collis (1991:60)
Dari uraian
di atas maka dapat dikatakan bahwa teori tersebut lebih menekankan pada
analisis terhadap kualitas respon anak. Untuk melihat respon anak diperlukan
butir-butir rangsangan. Dan butir-butir rangsangan dalam konteks ini tidak
difokuskan untuk melihat kebenaran dari jawaban saja melainkan lebih pada
melihat struktur alamiah dari respon siswa dan perubahannya dari waktu ke
waktu.
Untuk
menjelaskan konsep “pertukaran” yang terjadi dalam pertumbuhan kognitif yang
tidak biasa diantara anak-anak sekolah, Biggs & Collis (1991:
60)menyediakan suatu level tersendiri yang diberi nama “post formal mode”.
Bagaimanapun juga terdapat satu perbedaan penting dari teori yang dikemukakan
Piaget yaitu ketika mode atau level baru mulai muncul, ini tidak akan
menggantikan level yang lama begitu saja melainkan dapat berkembang bersamaan.
Oleh karena itu mode-model tersebut tumbuh sejak lahir hingga dewasa. Level
terakhir adalah batas tertinggi dari proses abstraksi yang dapat ditunjukkan
anak, bukan seluruh penampilan yang harus menyesuaikan dengan level-nya. Secara
khusus, ketika semakin banyak mode yang memungkinkan maka multi-modal fungsioning
menjadi normanya.
Berikut
adalah 5 mode yang diutarakan oleh Biggs dan Collis:
1. Mode
Sensorimotor
Focus
perhatian pada mode ini adalah lingkungan fisik sekitar anak. Anak membangun
kemampuan untuk melakukan koordinasi dan mengatur interaksinya dengan
lingkungan sekitar. Perkembangan yang berkelanjutan pada mode ini ditunjukkan
oleh kegiatan-kegiatan fisik ketika diperolehnya tacit knowledge.
2. Mode
Iconic
Pada mode
ini symbol-simbol dan gambar digunakan untuk merepresentasikan elemen-elemen
yang diperolehnya pada mode sensorimotor. Tanda-tanda tersebut digunakan
sebagai peran pengganti dari komunikasi oral. Cirri-ciri dari anak yang berada
pada mode ini antara lain sering menggunakan strategi menebak, senang
menggunakan alat peraga dan senang membuat gambaran-gambaran mental. Mode
sensorimotor dan iconic adalah mode-mode alamiah dari seorang manusia yang
berkembang secara alamiah juga. Sedangkan target pertama dari sekolah formal
ada pada mode concrete symbolic.
3. Mode
Concrete Symbolic
Pada mode
ini anak mengalami “pertukaran” dalam proses abstraksi. Mereka mulai
merepresentasikan dunia fisik melalui bahasa oral ke dalam bentuk tulisan,
yaitu sebuah system symbol yang akan mereka gunakan dalam kehidupannya di
dunia.
Sebuah
system symbol memiliki tingkatan dan logika internal yang dapat memfasilitasi
sebuah hubungan antara sistem simbol dan lingkungan fisik di sekitarnya. Sistem
symbol yang digunakan di sekolah antara lain adalah matematika dan bahasa. Mode
concrete symbolic adalah mode terbesar sebagai target dari matematika sekolah.
Karena dalam matematika anak menggambarkan dan mengoperasikan objek-objek yang
berada di sekitarnya.
4. Mode
Formal
Pada mode
ini titik berat kemampuan sesorang adalah pada kemampuan mengkonstruksi teori
tanpa bantuan contoh benda konkrit. Kemampuan berpikir pada tahap ini meliputi
membuat formula hipotesis dan membuat penalaran yang proporsional. Oleh karena
itu kemampuan ini dituntut pada mahasiswa-mahasiswa di Perguruan Tinggi.
5. Mode Post
Formal
Keberadaan
mode ini lebih menekankan pada pembuatan hipotesis secara deduktif dari pada
penyusunan teori berdasarkan bukti-bukti empiris. Karakteristik terpenting dari
mode ini adalah kemampuan untuk bertanya tentang prinsip-prinsip mendasar dari
sesuatu hal.
Taksonomi SOLO
ini terdiri dari lima tahap yang dapat menggambarkan perkembangan kemampuan
berpikir kompleks pada siswa dan dapat diterapkan di berbagai bidang.
Berikut
adalah tahapan respon berpikir berdasar taksonomi SOLO;
1. Tahap
Pre-Structural.
Pada tahap
ini siswa hanya memiliki sangat sedikit sekali informasi yang bahkan tidak
saling berhubungan, sehingga tidak membentuk sebuah kesatuan konsep sama sekali
dan tidak mempunyai makna apapun.
2. Tahap
Uni-Structural.
Pada tahap
ini terlihat adanya hubungan yang jelas dan sederhana antara satu konsep dengan
konsep lainnya tetapi inti konsep tersebut secara luas belum dipahami. Beberapa
kata kerja yang dapat mengindikasi aktivitas pada tahap ini adalah;
mengindentifikasikan, mengingat dan melakukan prosedur sederhana.
3. Tahap
Multi-Structural.
Pada tahap
ini siswa sudah memahami beberapa komponen namun hal ini masih bersifat
terpisah satu sama lain sehingga belum membentuk pemahaman secara komprehensif.
Beberapa koneksi sederhana sudah terbentuk namun demikian kemampuan
meta-kognisi belum tampak pada tahap ini. Adapun beberapa kata kerja yang
mendeskripsikan kemampuan siswa pada tahap ini antara lain; membilang atau
mencacah, mengurutkan, mengklasifikasikan, menjelaskan, membuat daftar,
menggabungkan dan melakukan algoritma.
4. Tahap
relational.
Pada tahap
ini siswa dapat menghubungkan antara fakta dengan teori serta tindakan dan
tujuan. Pada tahap ini siswa dapat menunjukan pemahaman beberapa komponen dari
satu kesatuan konsep, memahami peran bagian-bagian bagi keseluruhan serta telah
dapat mengaplikasikan sebuah konsep pada keadaan-keadaan yang serupa. Adapun
kata kerja yang mengidikasikan kemampuan pada tahap ini antara lain;
membandingkan, membedakan, menjelaskan hubungan sebab akibat, menggabungkan,
menganalisis, mengaplikasikan, menghubungkan.
5. Tahap
Extended Abstract
Pada tahap
ini siswa melakukan koneksi tidak hanya sebatas pada konsep-konsep yang sudah
diberikan saja melainkan dengan konsep-konsep diluar itu. Dapat membuat
generalisasi serta dapat melakukan sebuah perumpamaan-perumpamaan pada
situasi-situasi spesifik. Kata-kerja yang merefleksikan kemampuan pada tahap
ini antara lain, membuat suatu teori, membuat hipotesis, membuat generalisasi,
melakukan refleksi serta membangun suatu konsep.
Teori Belajar
Van Hiele
Dalam
belajar pengajaran geometri terdapat teori belajar yang dikemukakan oleh Van
Hiele (1954), yang menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak dalam
belajar geometri. Van Hiele adalah seorang guru bangsa Belanda yang mengadakan
penelitian dalam pegajaran geometri. Hasil penelitiannya itu, yang dirumuskan
dalam disertasinya, diperoleh dari kegiatan tanya jawab dan pengamatan.
Menurut Van
Hiele, tiga unsur utama dalam pengajaran geometri yaitu waktu, materi
pengajaran dan metode pengajaran yang diterapkan, jika ditata secara terpadu
akan dapat meningkatkan kemampuan berpikir anak kepada tingkatan berpikir yang
lebih tinggi.
Van Hiele
menyatakan bahwa terdapat lima tahapan berpikir dalam belajar geometri yaitu;
a. Tahap
Pengenalan
Dalam tahap
ini anak mulai belajar mengenali suatu bentuk geometri secara keseluruhan,
namun belum mampu mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk geometri yang
dilihatnya itu. Sebagai contoh jika kepada seorang anak diperlihatkan sebuah
kubus, ia belum mengetahui sifat-sifat atau keteraturan yang dimiliki oleh
kubus itu. Ia belum menyadari bahwa kubus mempunyai sisi-sisi yang berupa bujur
sangkar, bahwa sisinya ada 6 buah.
b. Tahap
Analisis
Pada tahap
ini anak sudah mulai dapat mengenal sifat-sifat yang dimiliki benda geomeri
yang diamatinya. Ia sudah mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat pada
benda geometri tersebut. Misalnya disaat dia mengamati persegi panjang, ia
telah mengetahui bahwa terdapat dua pasang sisi yang berhadapan, dan kedua
pasang sisi tersebut saling sejajar. Dalam tahap ini anak belum mampu
mengetahui hubungan yang terkait antara suatu benda geometri dengan benda
geometri lainnya. Misalnya, anak belum mengetahui bahwa bujur sangkar adalah
persegi panjang, bahwa bujur sangkar adalah belah ketupat dan sebagainya.
c. Tahap
Pengurutan
Pada tahap
ini anak telah mampu melaksanakan penarikan kesimpulan, yang dikenal dengan
sebutan berpikir deduktif, namun kemapuan ini belum berkembang secara penuh.
Pada tahap ini anak telah mulai mampu mengurutkan. Misalnya ia sudah mulai
mengenali bahwa bujur sangkar adalah jajargenjang, bahwa belah ketupat adalah
layang-layang. Demikian pula dalam pengenalan benda-benda ruang, anak-anak
memahami bahwa kubus adalah balok juga, dengan keistimewaannya, yaitu bahwa
semua sisinya berbentuk bujursangkar. Pola pikir anak pada tahap ini masih
belum mampu menerangkan mengapa diagonal suatu persegi panjang itu sama
panjang. Anak mungkin belum memahami bahwa belah ketupat dapat dibentuk dari
dua segitiga yang kongruen.
d. Tahap
Deduksi
Dalam tahap
ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif, yakni penarikan
kesimpulan dari hal-hal yang umum menuju hal-hal yang bersifat khusus. Mereka
juga telah mengerti peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, di samping
unsur-unsur yang telah didefinisiskan. Misalnya anak telah mampu memahami
dalil. Selain itu, pada tahap ini anak telah mampu menggunakan postulat atau
aksioma yang digunakan dalam pembuktian.
Postulat
dalam pembuktian segitiga yang sama dan sebangun, seperti postulat
sudut-sudut-sudut, sisi-sisi-sisi atau sudut-sisi-sudut, dapat dipahaminya,
namun belum mengerti mengapa postulat tersebut benar dan mengapa dapat
dijadikan sebagai postulat dalam cara-cara pebuktian dua segitiga yang sama dan
sebangun(kongruen).
e. Tahap
Akurasi
Dalam tahap
ini anak telah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip
dasar yang melandasi suatu pembuktian. Misalnya ia mengetahui pentingnya
aksioma-aksioma atau postulat-postulat dari geometri Euclid. Tahap akurasi
merupakan tahap berpikir yang tinggi, rumit dan kompleks. Oleh karena itu tidak
mengherankan jika tidak semua anak, meskipun sudah duduk dibangku sekolah
lanjutan atas, masih belum sampai pada tahap berpikir ini.
Paparan di
atas baru beberapa teori pembelajaran kognitif, selain itu masih banyak teori
belajar konitif yang diungkapkan oleh beberapa pakar seperti Bruner, Bloom,
Freudenthal dan lain-lain. ***
RUJUKAN:
1. Atherton J S
(2005) Learning and Teaching: SOLO Taxonomy [On-line] UK: Available:
http://www.learningandteaching.info/learning/solo.htm Accessed: diakses tanggal
17 January 2009.
2. Winkel, W.S.
(1996). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Grasindo.
3. Karso,
et.al.(1993). Dasar-Dasar Pendidikan MIPA. Jakarta: Depdikbud.
4. Suherman,
Erman & Winataputra, Udin S. (1992). Strategi Belajar Mengajar Matematika.
Depdikbud. Jakarta.
5. Ahmadi, Abu
dan Supriono, Widodo. (1991). Psikologi Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
6. Biggs, J. B.
and Collis, K. F. (1991). Multimodal learning and the quality of intelligent
behaviou. In H.Rowe (ed.).
7. Crowley, L
Mary.(1987). “The Van Hiele Model of the development of Geometric Thought.”
Dalam Learning and teaching Geometry, K-12. National of Teacher of mathematics
(NCTM). United State of America.
8. Biggs, J.B
& Collis, K.F. (1982). Evaluating the Quality of Learning: the SOLO
Taxonomy. New York: Academic Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar